Minggu, 14 Desember 2008

Danau Kelimutu di Flores




Sejaras cahaya jingga seolah membelah langit ketika saya tiba di puncak gunung suatu pagi pada Maret 2008. Pucuk-pucuk cemara tegak di tepian kawah, hening dan berkilau keemasan dalam cahaya fajar. Di ketinggian 1.670 meter, angin dingin menderu menusuk tulang. Yohanes Voda, 61 tahun, menyuguhkan secangkir kopi jahe hangat. Nikmatnya bukan main. Apalagi kerongkongan sudah kering setelah mendaki Gunung Kelimutu.

Seperti semua turis lain yang sudi mendaki satu kilometer anak tangga sampai ngos-ngosan, tujuan saya adalah menikmati keelokan kawah tiga warna di puncak gunung itu: Danau Kelimutu. Tak ada catatan pasti kapan danau tiga warna ini mua-mula ditemukan penduduk setempat. Warna airnya berubah-ubah dari masa ke masa. Namun, kelir air danau paling terkenal adalah merah, putih, dan biru. Inilah warna yang biasa dinyanyikan anak-anak sekolah dasar di berbagai belahan Pulau Flores. Dari masa ke masa, warna ini berubah-ubah seturut dengan musim, cahaya matahari, serta aneka perubahan kimiawi di dasar kawah.

Di sebuah tugu kecil di puncak gunung saya bertemu Yohanes Voda. Dia penduduk setempat yang telah 'merawat' Kelimutu selama 26 tahun terakhir sembari berjualan sekadar minuman bagi para turis. Dia pula yang memandu saya ke puncak menunjukkan kawah tiga warna. Indah, tenang, dan mistis, air danau terbentang jauh di dasar kawah dalam warna hijau kebiru-biruan, hitam, dan cokelat pekat seperti Coca Cola. Pak Tua Voda ibarat 'juru kunci tak resmi' bagi para pelancong Kelimutu.

Di sebuah pelataran dekat tugu kecil, Voda 'menjamu' tamunya setiap pagi--turis lokal dan asing. Mereka datang pagi-pagi benar, mengejar matahari terbit, agar keindahan puncak ketiga danau gunung itu dapat dilahap mata secara maksimal. "Saya sudah 26 tahun berjualan di sini," ujar Voda. Berdiam di sebuah desa di kaki gunung, dia berjalan kaki enam kilometer setiap hari untuk menjajakan kopi jahe khas Ende, teh hangat, serta lembar-lembar tenun ikat.

Kain-kain itu bersepuh warna alami dari akar mengkudu dan daun nila. Selembar kain dia hargai Rp 125 ribu. "Agak mahal karena selembar kain itu butuh tiga bulan untuk membuatnya," kata Voda. Puncak Kelimutu bukan sekadar tempat dia mencari nafkah. Tiga kawah itu dia yakini sebagai tempat bermukim para arwah leluhur suku Lio, suku asli di Kabupaten Ende.

"Tempat ini keramat dan disucikan," kata Voda. Karena itu, ia meminta setiap pengunjung tak sembarang memetik buah dari tanaman khas bedaun merah yang tumbuh di sepanjang bukit. "Itu makanan para arwah. Kalau mau petik, izin dulu," dia menambahkan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar